BAB 1
PENDAHULUAN
AC.
Srivastava, (1987), mengatakan temperatur merupakan salah satu dari empat
besaran dasar yang diakui oleh Sistem Pengukuran Internasional (The
International Measuring System). Lord Kelvin pada tahun 1848 mengusulkan
skala temperature termodinamika pada suatu titik tetap triple point,
dimana fase padat, cair dan uap berada bersama dalam equilibrium, angka ini
adalah 273,16 oK ( derajat Kelvin) yang juga merupakan titik es.
Skala lain adalah Celcius, Fahrenheit dan Rankine dengan hubungan sebagai
berikut:
oF
= 9/5 oC + 32 atau
oC
= 5/9 (oF-32) atau
oR
= oF + 459,69
Yayan
I.B, (1998), mengatakan temperatur adalah kondisi penting dari suatu substrat.
Sedangkan “panas adalah salah satu
bentuk energi yang diasosiasikan dengan aktifitas molekul-molekul dari suatu
substrat”. Partikel dari suatu substrat diasumsikan selalu bergerak. Pergerakan
partikel inilah yang kemudian dirasakan sebagai panas. Sedangkan temperatur
adalah ukuran perbandingan dari panas tersebut.
Pergerakan
partikel substrat dapat terjadi pada tiga dimensi benda yaitu:
1. Benda padat,
2. Benda cair dan
3. Benda gas
(udara)
Aliran kalor
substrat pada dimensi padat, cair dan gas dapat terjadi secara :
1. Konduksi, yaitu pengaliran panas melalui benda padat (penghantar) secara kontak
langsung
2. Konveksi,
yaitu pengaliran panas melalui media cair secara kontak langsung
3. Radiasi, yaitu
pengaliran panas melalui media udara/gas secara kontak tidak langsung
Pada aplikasi pendeteksian atau
pengukuran tertentu, dapat dipilih salah satu tipe sensor dengan pertimbangan :
1. Penampilan (Performance)
2. Kehandalan (Reliable) dan
3. Faktor ekonomis ( Economic)
BAB II
PEMBAHASAN
Hal-hal yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan pemilihan jenis sensor suhu adalah: (Yayan I.B, 1998)
1. Level suhu
maksimum dan minimum dari suatu substrat yang diukur.
2. Jangkauan (range)
maksimum pengukuran
3. Konduktivitas
kalor dari substrat
4. Respon waktu
perubahan suhu dari substrat
5. Linieritas sensor
6. Jangkauan
temperatur kerja
Selain dari
ketentuan diatas, perlu juga diperhatikan aspek phisik dan kimia dari sensor
seperti ketahanan terhadap korosi (karat), ketahanan terhadap guncangan,
pengkabelan (instalasi), keamanan dan lain-lain.
Setiap sensor suhu memiliki temperatur
kerja yang berbeda, untuk pengukuran suhu disekitar kamar yaitu antara -35oC
sampai 150oC, dapat dipilih sensor NTC, PTC, transistor, dioda dan
IC hibrid. Untuk suhu menengah yaitu antara 150oC sampai 700oC,
dapat dipilih thermocouple dan RTD. Untuk suhu yang lebih tinggi sampai 1500oC,
tidak memungkinkan lagi dipergunakan sensor-sensor kontak langsung, maka teknis
pengukurannya dilakukan menggunakan cara radiasi. Untuk pengukuran suhu pada
daerah sangat dingin dibawah 65oK =
-208oC ( 0oC = 273,16oK ) dapat
digunakan resistor karbon biasa karena pada suhu ini karbon berlaku seperti
semikonduktor. Untuk suhu antara 65oK sampai -35oC dapat
digunakan kristal silikon dengan kemurnian tinggi sebagai sensor.
Gambar 2.1.
berikut memperlihatkan karakteristik dari beberapa jenis sensor suhu yang ada.
|
Thermocouple
|
RTD
|
Thermistor
|
IC Sensor
|
|
|
|
|
|
|
V
T
|
R
T
|
R
T
|
V, I
T
|
Advantages
|
-
self powered
-
simple
-
rugged
-
inexpensive
-
wide variety
-
wide temperature range
|
-
most stable
-
most accurate
-
more linear than
termocouple
|
-
high output
-
fast
-
two-wire ohms
measurement
|
-
most linear
-
highest output
-
inexpensive
|
Disadvantages
|
-
non linear
-
low voltage
-
reference required
-
least stable
-
least sensitive
|
-
expensive
-
power supply required
-
small ΔR
-
low absolute resistance
-
self heating
|
-
non linear
-
limited temperature
range
-
fragile
-
power supply required
-
self heating
|
-
T < 200oC
-
power supply required
-
slow
-
self heating
-
limited configuration
|
Gambar 2.1. Karakteristik sensor temperature (Schuller, Mc.Name,
1986)
2.1. Bimetal
Bimetal
adalah sensor temperatur yang sangat populer digunakan karena kesederhanaan
yang dimilikinya. Bimetal biasa dijumpai pada alat strika listrik dan lampu kelap-kelip
(dimmer). Bimetal adalah sensor suhu yang terbuat dari dua buah lempengan logam
yang berbeda koefisien muainya (α) yang
direkatkan menjadi satu.
Bila
suatu logam dipanaskan maka akan terjadi pemuaian, besarnya pemuaian tergantung
dari jenis logam dan tingginya temperatur kerja logam tersebut. Bila dua
lempeng logam saling direkatkan dan dipanaskan, maka logam yang memiliki
koefisien muai lebih tinggi akan memuai lebih panjang sedangkan yang memiliki
koefisien muai lebih rendah memuai lebih pendek. Oleh karena perbedaan reaksi
muai tersebut maka bimetal akan melengkung kearah logam yang muainya lebih
rendah. Dalam aplikasinya bimetal dapat dibentuk menjadi saklar Normally
Closed (NC) atau Normally Open
(NO).
Gambar 2.2. Kontruksi Bimetal (
Yayan I.B, 1998)
Disini berlaku
rumus pengukuran temperature dwi-logam yaitu :
dan dalam praktek
tB/tA = 1 dan (n+1).n =2, sehingga;
di mana ρ =
radius kelengkungan
t = tebal
jalur total
n =
perbandingan modulus elastis, EB/EA
m =
perbandingan tebal, tB/tA
T2-T1
= kenaikan temperature
αA, αB = koefisien muai
panas logamA dan logam B
2.2. Termistor
Termistor atau tahanan thermal
adalah alat semikonduktor yang berkelakuan sebagai tahanan dengan koefisien
tahanan temperatur yang tinggi, yang biasanya negatif. Umumnya tahanan
termistor pada temperatur ruang dapat berkurang 6% untuk setiap kenaikan temperatur sebesar 1oC.
Kepekaan yang tinggi terhadap perubahan temperatur ini membuat termistor sangat
sesuai untuk pengukuran, pengontrolan dan kompensasi temperatur secara
presisi.
Termistor terbuat dari campuran oksida-oksida
logam yang diendapkan seperti: mangan (Mn), nikel (Ni), cobalt (Co), tembaga
(Cu), besi (Fe) dan uranium (U). Rangkuman tahanannya adalah dari 0,5 W sampai 75 W dan tersedia
dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ukuran paling kecil berbentuk mani-manik (beads)
dengan diameter 0,15 mm sampai 1,25 mm, bentuk piringan (disk) atau
cincin (washer) dengan ukuran 2,5 mm sampai 25 mm. Cincin-cincin
dapat ditumpukan dan di tempatkan secara seri atau paralel guna memperbesar
disipasi daya.
Dalam
operasinya termistor memanfaatkan perubahan resistivitas terhadap temperatur,
dan umumnya nilai tahanannya turun terhadap temperatur secara eksponensial
untuk jenis NTC ( Negative Thermal Coeffisien)
Koefisien
temperatur α didefinisikan
pada temperature tertentu, misalnya 25oC sbb.:
Gambar
2.3 . Konfigurasi Thermistor:
(a) coated-bead
(b) disk
(c) dioda case dan
(d) thin-film
2.3. Resistance Thermal Detector (RTD)
RTD adalah salah satu dari beberapa jenis sensor suhu yang sering
digunakan. RTD dibuat dari bahan kawat tahan korosi, kawat tersebut dililitkan
pada bahan keramik isolator. Bahan tersebut antara lain; platina, emas, perak,
nikel dan tembaga, dan yang terbaik adalah bahan platina karena dapat digunakan
menyensor suhu sampai 1500o C. Tembaga dapat digunakan untuk sensor
suhu yang lebih rendah dan lebih murah, tetapi tembaga mudah terserang korosi.
RTD
memiliki keunggulan dibanding termokopel yaitu:
1.
Tidak diperlukan suhu referensi
2. Sensitivitasnya cukup tinggi, yaitu dapat dilakukan
dengan cara mem-perpanjang kawat yang digunakan dan memperbesar tegangan
eksitasi.
3.
Tegangan output yang dihasilkan 500 kali lebih besar dari termokopel
4. Dapat digunakan kawat penghantar yang lebih panjang
karena noise tidak jadi masalah
5. Tegangan keluaran yang tinggi, maka bagian
elektronik pengolah sinyal menjadi sederhana dan murah.
Resistance
Thermal Detector (RTD)
perubahan tahanannya lebih linear terhadap temperatur uji tetapi koefisien
lebih rendah dari thermistor dan model matematis linier adalah:
dimana : Ro
= tahanan konduktor pada
temperature awal ( biasanya 0oC)
RT = tahanan konduktor pada temperatur toC
α
= koefisien temperatur tahanan
Δt =
selisih antara temperatur kerja dengan temperatur awal
Sedangkan model matematis nonliner
kuadratik adalah:
Gambar
2.10. Resistansi versus Temperatur untuk
variasi RTD metal
Bentuk lain dari Konstruksi RTD
Gambar
2.11. Jenis RTD: (a) Wire (b) Ceramic Tube (c) Thin Film
2.4. Termokopel
Pembuatan termokopel didasarkan atas
sifat thermal bahan logam. Jika sebuah batang logam dipanaskan pada salah satu
ujungnya maka pada ujung tersebut elektron-elektron dalam logam akan bergerak
semakin aktif dan akan menempati ruang yang semakin luas, elektron-elektron
saling desak dan bergerak ke arah ujung batang yang tidak dipanaskan. Dengan
demikian pada ujung batang yang dipanaskan akan terjadi muatan positif.
![](file:///C:/Users/ateng/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image034.gif)
Kerapatan electron untuk setiap bahan logam
berbeda tergantung dari jenis logam. Jika dua batang logam disatukan salah satu
ujungnya, dan kemudian dipanaskan, maka elektron dari batang logam yang
memiliki kepadatan tinggi akan bergerak ke batang yang kepadatan elektronnya
rendah, dengan demikian terjadilah perbedaan tegangan diantara ujung kedua
batang logam yang tidak disatukan atau dipanaskan. Besarnya termolistrik atau gem
( gaya electromagnet ) yang dihasilkan menurut T.J Seeback (1821) yang
menemukan hubungan perbedaan panas (T1 dan T2)
dengan gaya gerak listrik yang dihasilkan E, Peltir (1834), menemukan gejala panas yang
mengalir dan panas yang diserap pada titik hot-juction dan cold-junction, dan Sir William Thomson, menemukan arah arus
mengalir dari titik panas ke titik dingin dan sebaliknya, sehingga ketiganya
menghasilkan rumus sbb:
![](file:///C:/Users/ateng/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image035.gif)
E
= C1(T1-T2) + C2(T12
– T22) (…)
Efek Peltier Efek Thomson
atau
E = 37,5(T1_T2)
– 0,045(T12-T22) (
...)
di
mana 37,5 dan 0,045 merupakan dua konstanta C1 dan C2
untuk termokopel tembaga/konstanta.
Bila ujung logam yang tidak dipanaskan dihubung singkat, perambatan panas
dari ujung panas ke ujung dingin akan semakin cepat. Sebaliknya bila suatu
termokopel diberi tegangan listrik DC, maka diujung sambungan terjadi panas
atau menjadi dingin tergantung polaritas bahan (deret Volta) dan polaritas
tegangan sumber. Dari prinsip ini memungkinkan membuat termokopel
menjadi pendingin.
Thermocouple sebagai sensor temperatur
memanfaatkan beda workfunction dua bahan metal
Gambar
2.16. Hubungan Termokopel (a) titik beda potensial
(b)
daerah pengukuran dan titik referensi
Pengaruh
sifat thermocouple pada wiring
Gambar 2.17. Tegangan referensi pada titik sambungan:
(a)
Jumlah tegangan tiga buah metal (b) Blok titik sambungan
Sehingga
diperoleh rumus perbedaan tegangan :
BAB III
PENUTUP
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT, maka terselesaikanlah karya tulis ini. Dan tidak lupa kami sebagai penyusun
apabila ada kesalahan dari penulisan dan pemilihan kata. kami selaku penyusun
akan menerima segala kritik dan saran yang bisa menjadikan karya tulis yang
akan datang bisa lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar